Empat puluh, empat puluh satu, empat puluh dua! Yup
akhirnya! Aku baru saja menyelesaikan anak tangga terakhir dilantai empat
gedung D kampus. “Tira, capek”, erang Uti padaku sambil meremas lengan sebelah
kananku. Memang bukan tantangan berat untuk menaiki lantai empat gedung
tersebut, hanya saja jika itu dilakukan setiap kami akan masuk kelas, kerasa
kan capeknya?? Belum lagi jadwal sholat yang belum keitung. Sontak aku dan Uti
langsung duduk lesehan bersandarkan tembok didepan kelas sambil melahap botol
air mineral yang kami bawa.
“lungguh kene lo, cek gak panas”, ucap seorang cowok yang
baru saja naik tangga dengan logat jawanya yang kental. Cowok itu langsung
mendekat duduk disebelahku. Aku yang sibuk mengatur nafas tiba-tiba saja
menoleh, melemparkan senyum. Dua temannya mengikuti, yang satu berwajah bersih,
tinggi, dan badannya berisi, yang satu lagi kulitnya gelap dan lucu.
“jowone jowo ndi mas?”, tanpa dikomando logat jawakupun ikut
keluar. Aku memang asli jawa. Sudah setahun aku berada dikota ini dengan status
pekerja. Tapi saat ini status itu bertambah ketika awal September lalu sudah
kuputuskan untuk bekerja sambil kuliah di salah satu Universitas Swasta dikota
ini.
“Semarang. Loh jowo pisan ta?”, ganti dia yang bertanya
padaku.
“he.eh, Blitar aku mas”, timpalku.
“aku Rizqi”, ujarnya sambil menyerahkan tangannya, berharap
tangannya kujabat.
“Tira, mas”, sambil membalas jabatannya.
“iki Itok, iki Nata”, dia menjelaskan sambil menepuk bahu
kedua temannya. Kedua temannya melempar senyum padaku.
“Semarang juga?”, tanyaku pada kedua temannya. Mereka
mengangguk. “ini Uti”, ganti aku yang mengenalkan Uti pada Mas Rizqi dan kedua
temannya. Mereka berjabat.
Uti dan Mas Rizqi banyak mengobrol, padahal aku duduk
ditengah-tengah mereka. Kubiarkan mereka ribut sendiri, sedangkan aku sibuk
menerjemahkan apa dan siapa yang sedang terlintas dipikiranku saat itu. Itu
adalah saat pertama aku melihatnya, melihat bahwa ada sosok yang mengingatkanku
kembali pada “sweet5a’clock”, melihat
wajah damai tapi ceria, melihat senyum indah mekar sama seperti yang “dia” punya, melihat kenyataan bahwa dia
adalah teman sekelasku, melihat sifat perfectsionis yang selalu aku inginkan,
dan mata kecil itu, Mas Itok, Adito Muhammad.
***
Itok: Kak Tira, tugas Pak Idan udah?
Aku kaget ketika nama Mas Itok muncul dalam chat akun jejaring
sosialku. Bukan karena aku terpana karena dia beberapa hari yang lalu telah
berteman dengannya dalam akun tersebut, tapi karena aku tidak menyangka dia mau
memulai mengobrol denganku, meskipun hanya dalam chatting, meskipun hanya
sebatas masalah tugas. Tapi aku ingin menikmatinya.
Tira: sudah dong, mau nyontek ya? (aku
menggodanya)
(Itok sedang mengetik..)
Itok: mau dong, kirim lewat email ya?
Tanpa disuruh dia sudah mengirimkan alamat emailnya.
Perbendaharaanku tentangnyapun bertambah. Tau nama lengkapnya, tau asalnya, tau
akunnya, tau emailnya, sebentar lagi apa ya???
Tira: oke, ditunggu ya?
Aku langsung saja bergulat dengan segala folder dan emailku, merespon
apa yang diminta Mas Itok tanpa pikir panjang. Tak lama berselang setelah aku
mengirimkan file yang dia minta, chatku kembali nyala, meminta untuk direspon.
Itok: minta nomor handphonemu
dong Tira, hehe
Jegeeeeeerrrr, Mas Itok
minta nomor handphoneku. Ini lebih dari keterpanaanku tadi, saat dia mulai
obrolan denganku. Aku senang, ya setidaknya itu yang kurasakan saat itu. Aku
kembali menatap layar monitorku, mengamati, siapa tau aku salah membaca. Dan
dia benar-benar memintanya, aku tak salah membacanya. Aku kembali menekan
tuts-tuts keyboard laptopku, mengetik 12 digit angka nomor handphoneku, dan setelah
itu obrolan kami berakhir.
***
Setelah obrolan kami berakhir pada malam itu, kami jadi sering
menyapa dikampus. Meskipun hanya sekedar melemparkan senyum. Pernah sekali
waktu aku keasyikan mengamati dia yang sedang asyik nongkrong dideretan warung
samping kampus, sampai-sampai aku tak memperhatikan Uti yang sejak tadi
disampingku. Sebenernya sih Uti juga sedang sibuk dengan headsetnya. Tak lama
setelah itu aku sih taunya Mas Itok sama Mas Rizqi udah naik tangga,
menghampiri aku dan Uti yang berdiri bersandar ditembok menghadap ramainya
jalanan. Mas Itok berdiri disampingku, kuulang DISAMPINGKU persis, dan aku
hanya diam. “fisika gak ada tugas kn?”, Mas Rizqi mencairkan suasana. Uti
menggeleng. Aku masih tetap diam menatap jalanan.
“duh fisika, malesi”, ucap Mas Itok.
“lek males terus kapan
isone Mas?”, aku tertawa kecil. Sejenak kami berdua diam. Uti masih sibuk
dengan headsetnya, Mas Rizqi berkutat dengan Tab ditangannya. “ndi Mas
oleh-olehe? Jare balik nang Semarang?”, tanyaku lagi.
“oleh-oleh opo? Kesel a?”, jawabnya. Kami lebih sering
berinteraksi dengan Bahasa Jawa jika sedang begini. Entah kenapa jika disms
atau dichatting kami lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal
menurutku lebih leluasa ngomong Bahasa Jawa dibandingkan Bahasa Indonesia.
Dia sering duduk didekatku sekarang, tak pernah bersebelahan
langsung, lebih sering terpisah oleh Mas Rizqi diantara kami. Karena ada Mas
Nesa juga tentunya, teman dekat mereka yang akrab denganku gara-gara aku pulang
malam pada saat kelas malamku waktu itu. Tapi setidaknya kekraban itu mulai terjalin.
Sekarang aku suka memperhatikannya, senyumnya, tingkahnya, dan
terutama mata kecilnya. Lagi-lagi aku menyamakannya dengan “sweet5a’clockku”.
Pernah terlintas dipikiranku, apa aku akan mengulang hal yang sama seperti yang
aku lakukan pada dia? Tapi aku tak tertarik menyayanginya, aku hanya menyukai
cara bergaulnya yang simple dan tidak pilih-pilih. Yang lebih suka menjaga
sikap dan diam dari pada harus mengumbar omongan yang tak penting. Pribadi
orang Jawa yang ramah dan bersahaja tanpa membedakan aku ini perempuan atau
laki-laki yang harus dia pilih sebagai kawan. Dan aku tetap pada janjiku “bisa
menyukai siapapun, tapi tetap satu yang kusayangi”, meskipun itu terkadang
konyol bagiku sendiri.
***
Aku sedang duduk dengan Uti dan Rio didepan ruang POP. Didepan
tempat kami duduk, ada mading panjang terbentang yang tertutup kaca bening. Kadang
satu dua orang berhenti di depanny melihat info apa yang ada dalam mading itu.
Satu atau dua kata, aku sibuk menimpali ocehan Uti dan Rio disampingku.
Ruang mtk dimana?
Mas Itok mengirim pesan padaku. Tak berselang lama, sms balasanku
sudah terkirim untuknya. Handphone kembali bergetar meminta respon. Aku
membukanya
.
.
Oke sip, sudah berangkat belum kamu?
Deggg!!! Kamuuu???? Mas Itok memanggilku dengan kata “KAMU”, hal
biasa yang bagiku tidak biasa. Aku senang dipanggil seperti itu. Tanpa
diperintah dua kali akupun menyentuh touchku dan membalas pesan itu. Aku
tersenyum kecil. Untung saja Uti sedang sibuk mempelajari tugas matematika bersama
Rio. Kalau tidak, mungkin raut mukaku sekarang akan diketawain habis-habisan
sama Uti. Aku kembali memandangi kaca mading yang bening didepanku. Sepersekian
detik, aku menoleh kebelakang melihat suasana kampus. Dan mataku terhenti pada
sosok tubuh tinggi dan berisi dengan sedikit jambul pada rambutnya. Dan
sepersekian detik kemudian aku kembali menatap kaca mading. Mas Itok! Hatiku
menyebut namanya tanpa ada rem sedikitpun. Bayangannya tampak dengan jelas pada
mading. Aku tak lagi menoleh kebelakang. Mas
Itok berjalan menuju arahku, itu terdengar dari suara Mas Rizqi yang khas.
Yup ternyata benar, Mas Rizqi menyapa kami bertiga. Menyerahkan oleh-oleh yang
sebenernya untuk Mas Nesa padaku.
“loh ini kan buat Mas Nesa, tapi Mas Nesanya gak masuk hari ini”,
ujarku melemparkan senyum senang pada Mas Rizqi.
“yowes ora opo-opo”, jawab Mas Rizqi.
Mas Itok duduk disebelahku, akupun menoleh kepadanya. Dia
melemparkan senyum padaku. Senyum itu! Dan indahnya mata kecil itu! Aku
teringat! Aku kembali melihat senyumnya hari ini setelah minggu yang lalu ia
absen masuk kelas karena harus pergi keluar pulau untuk menyelesaikan
pekerjaannya pada sebuah perusahaan pembangkit. Aku tak merindukannya saat itu,
hanya sedikit merasa ada yang kurang saja jika teman sekelas ada yang tak
hadir, aku yakin, semua akan merasakan hal yang sama. Kami mengobrol ringan,
lagi-lagi tentang tugas. “ndi oleh-oleh ee?”, aku teringat pada hal yang
dijanjikan Mas Itok beberapa hari yang lalu. Mas Itok sibuk mencari sesuatu
dalam tasnya dan tak berapa lama kemudian meletakkan sebuah gantungan kunci Jam
Gadang di telapak tanganku. Aku kembali melemparkan senyumku, senyum terindahku
padanya. “suwun lo yo mas”, ujarku singkat.
“iyo”, timpal Mas Itok.
Kami berlima kembali pada obrolan kami masing-masing. Setelah
sekitar 15 menit berada dibangku tersebut, kami beranjak naik kelantai 4 menuju
ruang kelas. Dan lagi! Dia duduk didekatku, terpisah satu bangku yang ditempati
Mas Rizqi. Aku banyak bercanda dengannya hari itu. Seperti sedang melampiaskan
segala rasa senangku padanya, seperti dia tak akan lagi ada esok hari, seperti
ada yang akan hilang tak lama lagi, entahlah. Dia banyak bertanya tentangku,
seperti tentang kelahiranku, tentang tulisanku, apapun lah.
“aku bariki langsung balik”, Mas Rizqi berucap pelan.
Aku menoleh padanya dan menghentikan guratan pena dicatatanku,
seakan meminta penjelasan. “la lapo?”
“biasa, ono kerjaan”, kali ini Mas Itok yang menjawab. Aku tak
suka jawabannya. Itu berarti dia tak lagi muncul dalam kelas matematika.
Padahal karena mata kuliah itulah kami sering berinteraksi satu sama lain. Aku
kembali sibuk dengan hitungan rangakaianku, mecorat-coret soal dimana-mana.
“Ti, tolong itungin hasil yang ini dong”, pintaku pada Uti.
“sini-sini, berapa?”, jawab Uti.
“tak rewangi kene”, potong Mas Rizqi sambil mengeluarkan
Blackberrynya. Aku bingung toleh kanan kiri.
“opo nganggo gotekku, luwih gedhe”, celetuk Mas Itok sambil
merogoh bagian depan tasnya dan mengambil gadgetnya. Aku semakin bingung mau
memakai yang mana. Akhirnya kalkulator gadget Mas Itok yang kami gunakan, tapi
Mas Rizqi yang mengoperasikan. Aku sibuk mengutak-atik jawabanku yang mulai
menemukan titik BENAR dimata dosen yang satu ini. “ayo Tira, semangat!!!!”,
ujar Mas Itok sambil bertepuk pelan melemparkan senyum menyemangatiku. Aku
malu, aku bingung, dan aku salah tingkah tapi aku senang. Aku tersenyum melihat
kekonyolannya hari ini. Dia lucu!
Yap, setelah mata kuliah itu berakhir, Mas Rizqi dan Mas Itok langsung
menuju ke halaman parkir. Mata kuliah matematika tanpa Mas Itok, Mas Rizqi, dan
Mas Nesa. Teman dekatku, selain Uti, Aidil, Ade, dan yang lain.
***
Kesepian yang sama kurasakan pada keesokan harinya. Mereka bertiga
kembali absen dalam mata kuliah. Rasanya memang ada yang kurang. Sebenernya aku
ingin sekali menceritakan ini kepada Uti, kalau sebenarnya aku suka
memperhatikan Mas Itok, kalau sebenarnya aku suka melihat mata kecilnya, kalau
sebenarnya aku menikmati senyumnya, semuanya. Tapi aku belum terlalu dekat
dengannya, apalagi untuk masalah pribadiku. Bukan tak mau berbagi, tapi aku
memang masih belum terbiasa dengan sikap cueknya. Takut jikalau apa yang aku
ceritakan hanya akan ditanggapinya sepele. Dan aku hanya menceritakan ini pada
Iza, teman sekantor, dan teman sekamarku di kost. Orang terdekatku di kota ini.
Yang setiap malam menjadi tempat curahan semua kelu kesahku, yang hampir dua
tahun terakhir menjadi salah satu orang terdekatku setelah pertemuan singkat 2
minggu di Kota Pahlawan 2 tahun silam.
Aku baru saja bangun dari tidurku selepas kuliah tadi. Menuju
kamar mandi untuk “bershower” ria. 30 menit kemudian aku sudah menamatkannya,
sekaligus menyelesaikan sholat wajibku. Aku duduk menyandar bantal, meluruskan
kaki. Aku selalu merasa sangat lelah jika hari Minggu berlangsung. Iza belum
datang dari kantor yang sedang lembur hari ini. Aku sendiri. Aku meraih LGku
yang sejak tadi berdiam diri karena kutinggal tidur. Sudah ada beberapa pesan
yang masuk. Buru-buru aku membacanya. Aku teringat sesuatu. Segera aku membuka
memo yang aku catat siang tadi tentang seabrek jadwal praktikum. Aku mencari
kontak Mas Itok, mengirimkan memo yang kucatat. Bukan maksud ingin perhatian
atau apa, mengingat dia satu kelompok denganku saat praktikum fisikaku nanti.
Aku tak ingin nilai praktikumku nanti kurang hanya karena salah satu anggota
kelompokku gak tau info ini, lagian info ini memang penting. 5 menit kemudian
LGku bergetar. Aku membaca pesan yang masuk, dari Mas Itok. Dia bilang dia
sedang di jalan dan dia akan kembali sms jika dia sudah sampai nanti. Aku
kembali meletakkan LGku di atas kasur, mulai menyicil bacaan yang akan kugeluti
pada saat UTS nanti. Aku menunggu, menunggu Iza pulang, menunggu LGku kembali
bergetar.
Rrrrrrrrrrrrrrrr
Aduuh makin banyak tugas ya? Hhe
Tira ini kemungkinan aku sama Rizqi
mau mengundurkan diri dari kampus, soalnya ada beasiswa kuliah dari kantor,
jadi galau deh :)
Jegeeeerrrrrrr! Nafasku terhenti seketika. Saat itu juga.
Perasaanku campur aduk, aku terdiam, meletakkan modul di pangkuanku, aku
ogah-ogahan membalas.
Wusssh, dimana mas?
Jawabku singkat, LGku bunyi, pesan terkirim. Dan benar, aku merasa
akan kehilangan. Hal yang pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan yang sama saat
dia memutuskan untuk menyukupkan semuanya. Rasa yang seakan kutelan bulat-bulat
dan kupaksakan menerimanya. Pikiranku berantakan. Satu hal yang ingin aku
lakukan adalah menangis. Mataku sudah sembab meskipun air matanya tak jatuh.
LGku kembali bergetar.
STT Negeri Ra, minggu ini pengumuman
pegawai yang dapet beasiswa itu, minta doanya yah.
Jari-jariku menari di atas LG touchku.
Gak mau doain ah :p
Jujur, aku terus terang mengatakannya. Aku memang tak mau
mendoakannya. Ya, aku memang egois. Tapi memang itu yang kulakukan. Dia
membujukku untuk mengajak makan-makan jika dia memang yang menerima beasiswa
itu. Tapi aku bilang “tak apa gak ikutan makan-makan”. Aku tau mungkin dia akan
kecewa melihat jawabanku seperti itu, atau dia akan menganggapku seperti adek
kecil yang tak ingin ditinggal kakaknya ditengah keramaian pasar malam karena
takut tersesat. Aku benar-benar mematung saat itu.
Iza pulang, aku tetap pada posisiku. Sebenarnya aku ingin
menceritakan hal ini padanya. Hal dimana hiburan kecilku akan hilang, hal
dimana dia akan pergi meskipun itu belum pasti, hal dimana aku merasa
benar-benar akan KEHILANGAN! Aku ingin memeluk sahabatku saat itu, Diah. Aku
ingin menceritakan semuanya, termasuk pada Iza, tapi aku mengurungkannya. Dan
aku memutuskan untuk menangis sendiri sebelum tidurku.
***
Sampai detik ini aku tak lagi mendengar kabar apapun darinya, tak
ada chatting di akun jejaringku, tak ada pesan masuk pada LGku yang menunjukkan
namanya, dan aku benar benar merasa mulai kehilangan meskipun itu belum
benar-benar terjadi. Sampai saat ini aku belum menceritakannya pada siapapun,
termasuk Iza ataupun Diah. Aku benar-benar menyimpannya sendiri. Aku tau aku
akan kehilangan, aku justru sedang menyiapkan hatiku untuk semua ini. Aku tak
tau kapan akan berakhir kekacauanku ini. Aku seperti sedang mengantarkannya ke
bandara, mengantarkan kepergiannya pulang menuju kampung halamannya. Seperti
sedang memvonis diriku sendiri untuk kembali KEHILANGAN untuk kesekian kalinya.
Aku tak menyayanginya, tapi aku juga tak menginginkan kepergiannya, meskipun
tak selamanya. Aku ingin kekacauan hatiku berakhir, aku tak ingin serisau ini.
Sebenarnya dia masih bisa menemaniku kapan saja tanpa harus ada
tepat disampingku, dia masih bisa menyapaku setiap saat lewat apapun, tapi
bukan itu yang aku inginkan. Aku ingin selalu melihat senyum damainya, dan
terutama…….
mata kecil itu….
***
Malam ini praktikum fisika kelasku dimulai. Semua teman sekelasku
sudah berkumpul pada kelompoknya masing-masing, termasuk aku. Banyak yang tak
hadir malam itu, mas Rizqi yang satu kelompok dengan mas Nesa, Inu yang
sekelompok dengan Rio,termasuk Mas Itok, kelompokku. Aku yang duduk di belakang
Mas Nesa saat itu iseng mengerjai teman sekelompoknya. Mengganggu ia menghitung
bandul yang sedang berayun ke kiri dan ke kanan. “ih, kerja kok berdua, yang
laen mana?”, seruku.
“la situ juga, kelompoknya gak lengkap. Si Rizqi kan emang udah
positif cabut dari kampus”, ujar Mas Nesa.
“loh iya ta? Udah positif?”, tanyaku pada Mas Nesa dengan nada
tinggi. Serentak orang disekitarku menoleh. Seperti minta penjelasan. Aku yang
dasarnya emang jahil cuma meringis menoleh pada yang lain. Aku menunduk,
merogoh touchku disaku, memencet tutsnya, merangkai kata, dan pesanku terkirim.
Kembali sibuk dengan praktikumku, kembali ikut tertawa dengan yang lain,
seoalah tak terjadi apa-apa.
Iya, mulai November Tira. Gimana kuliah
hari ini? Lancar?
Aku ogah-ogahan membalasnya, jangankan untuk membalas, membacanya
saja sudah membuat aku mendadak sesak nafas. Jantungku terhenti seketika, lalu
menancapkan kata “RESAH” di dalamnya. Ah, aku tau, itu berlebihan. Aku memutuskan
untuk memasukkan touchku ke dalam saku, urung membalas pesannya, tak berselera.
***
Aku tak tau dia siapa, yang aku tau dia ramah,
Aku tak tau dia siapa, yang aku tau hanya
senyum indahnya,
Aku tak tau dia siapa, yang aku tau garis
wajahnya itu sempurna,
Dan aku tak pernah tau dia siapa, yang aku tau
hanya mata kecilnya
Mata kecil yang selalu membuat terpana,
Mata kecil yang selalu membuat damai para
penglihatnya,
Mata kecil yang menuntut untuk mengingat
seseorang,
Mata kecil yang selalu mengingatkan pada kisah
menyakitkan,
Terutama aku….
Tapi kini, mata kecil itu tak lagi tampak
Mata kecil itu tak lagi bisa kupandang
Bahkan dari keduanya
Dan sekarang?
Mata kecil itu........
Kembali pergi
***
ciyeeeeciyeeeee cikiciuw :D
BalasHapusgak mau doain ah :p
BalasHapusdia apa diah?
siapa aja boleh :)
BalasHapus