Gimana kalo kita ketemu besok? Ada sesuatu yang pengen aku omongin. Aku sayang kamu.
Tira membaca pesan singkat dari Tama. Tira dan Tama
sebenarnya satu kelas, tapi yang dimaksud “ketemu” ini adalah ketemu dalam arti
pribadi, bukan sebagai sesama siswa yang duduk di kelas yang sama dan mengemban
ilmu bersama. Keduanya sudah mulai dekat semenjak kelas dua, kebiasaan saling
mengirim pesan singkat yang membuat keduanya dekat. Tak ada yang tau jika
keduanya sedang menjalin hubungan, kecuali Oci, Baim, dan Olif, sahabat Tira.
Esok harinya, mereka bertemu setelah kebohongan-kebohongan kecil terlampaui. Seperti biasa, mereka
bertemu disebuah taman hunian yang diapit oleh gedung lapangan futsal dan
terdapat sebuah Plaza kecil disisi lainnya. Serta terdapat lapangan bola disisi
kanannya, dan hunian disisi kirinya.
Tira turun dari jok belakang motor Tama, dan Tama
menyambutnya dengan pelukan kecil pada tubuh Tira yang mungil. “kenapa?”, tanya
Tira singkat. Tama tetap tak mau melepaskan pelukannya. “Sayang, kamu baik baik
saja?”, ulang Tira.
Tama melepaskan pelukannya dan tersenyum simpul. Tira
menatap Tama sejenak lalu membuang tatapannya menuju pada bola yang digiring
para pemainnya. “aku sayang kamu”, ucap Tama singkat.
“aku juga”, ujar Tira sambil terus menikmati pemandangan
didepannya. “oh iya, katanya mau ngomong”.
“gak jadi, aku takut sayang sedih”
Tama diam, tatapannya mulai sayu. “sayang tau kan kalo ini
pengalaman pertamaku?”. Tira memandang Tama dan mengangguk. Tira mulai tau arah
pembicaraan Tama. “aku udah janji sama orangtua dan kakakku buat gak pacaran
sebelum kerja nanti”
“iya aku tau, aku juga gak minta kita pacaran kan. Toh kita
udah sama-sama tau kalo kita saling sayang. Aku juga gak masalah kok nungguin kamu,
asal kamu janji kalo suatu saat nanti bakal balik hanya buat aku”
“lama sayang kalo kamu nungguin aku”, tegas Tama.
“kamu gak sayang aku?”
“sayang, aku sayaaaaang sama kamu”
“ yaudah, kamu bisa kan gak sayang aku lagi? Kita stop
disini aja. Aku gak mau jadi beban pikiran kamu, sebelum kita melangkah jauh,
dan aku pengen kita sama sama konsen sama cita-cita kita”, ucap Tira menahan
tangis.
“stop disini? Gak bisa gitulah!”, jawab Tama
“anter aku pulang!”
Tama menarik kembali tubuh mungil Tira untuk memeluknya, “kamu
sedih ya?”
“kamu janji ya, suatu saat kembali hanya untuk aku”, Tama
diam. “gak mau ya?”
Tama mengeratkan pelukannya, “tau kan artinya?”. Kini Tira
yang terdiam, seperti sudah tau maksud pelukan erat Tama. Tama kembali
mengeratkan pelukannya dan memberi kecupan kecil dipipi kiri Tira.
“gimana sama Tama?”, tanya Oci.
“baik-baik aja”, jawab Tira singkat sambil trus nguyah permen
karet dan kembali sibuk dengan hp ditangan.
“serius?”, Oci, Baim, dan Olif jawab barengan.
“ssstttttt, berisik banget sih. emang kita keliatan lagi
perang ya?”
“ya enggak sih, tapi keliatan beda aja. Mana hapemu?”,
rampas Olif.
“apa’an sih, maen rampas aja”, Tira marah.
Olif ngembali’in hp Tira dan diam. Sebenernya ketiga sahabat
Tira sudah mencium gelagat aneh dari keduanya. Tapi setelah mendengar jawaban Tira, mereka memilih diam. Memang, sejak kejadian itu, Tama dan Tira memilih
saling diam satu sama lain. Termasuk dengan hp mereka. Tak ada lagi pesan
singkat pagi-pagi untuk ngebangunin, atau sekedar ngingetin sholat.
Bel masuk pun berbunyi, keempat sekawan ini masuk kekelas
dan melakukan tugasnya, belajar. Tapi si Oci kembali membombardir Tira. “lagi
marahan kah sama Tama?”
“nggak”, jawab Tira singkat.
“matamu gak biasa bohong Tir, ceritalah. Kita kan sahabat.
Tama nyakitin ya?”, tanya Oci lagi.
Tira melirik Tama yang duduk dideretan belakang bangku Tira
dan Oci pada baris bangku yang sama. Tira menggeleng, dan kembali pada buku
yang dia geluti sejak tadi. Oci menarik nafas panjang dan kembali menyimak
pelajaran.
“oke, pelajaran seni kali ini Bapak pengen kalian bikin
slogan yang didalamnya terdapat karikatur orangnya. Karena saya tau tidak
sedikit yang gak bisa menggambar dengan baik dan benar, saya akan membagi
kalian menjadi 12 kelompok, jadi setiap kelompok terdiri dari 2 orang”, terang
Pak Wid, guru seni kelasku.
“bikin sendiri aja ya pak kelompoknya”, pinta si Eka sang
ketua kelas.
“tidak, saya sudah menentukan nama disetiap kelompoknya”
“yaaaaaaah”, ujar seisi kelas.
Pak Wid sudah mulai menyebutkan nama setiap kelompoknya,
“Eka dan Dana, Olif dan Icak, Rizal dan Setya, Dika dan Iman, bla bla bla”. Tira
masih menyimak nama-nama selanjutnya. Yang udah dapet kelompok udah pada
bingung, kenapa dapet kelompok sama dia, mau bikin apa, macem-macem deh. “Oci
dan Afiz, Tama dan Tira, bla bla bla. Tugas ini dikumpulkan minggu depan, sudah
dipigura”, tutup Pak Wid yang trus berlalu dari kelas karena ada rapat. Tira
pasrah, tampaknya Tama juga.
****
Beberapa hari ini setiap pulang sekolah anak kelas Tira selalu
disibukkan tugas Pak Wid, jadi tak heran kalo jam pulang sekolah beberapa
diantaranya masi nangkring dikelas buat ngerjain.
Tepat h-2, Tira yang sedang asik ngerjain diatas kertas
karton besar benar-benar lembur dikelas. Sebenarnya bukan berarti Tama tak mau
membantu, tapi memang keduanya punya jadwal masing-masing. Les privat mereka
juga tak bisa ditinggal, karena keduanya memang bukan tipe yang gak tanggung
jawab. Pernah juga suatu hari, Tira udah sibuk ngerjain, Tamanya malah futsal
sama temen-temennya. Jadi ditinggal pulang sama Tira.
“Tir, aku duluan ya? Ngerjain dirumah Afiz”, pamit Oci.
“oke, ati-ati ya”, jawab Tira. Oci pun berlalu. Tira kembali
sibuk. Dikelas masi banyak temen yang lain juga, termasuk Tama. Tama sedang
asik dengan laptopnya yang lagi perang CounterStrike sama yang lain. Kok tau?
Jelas aja, suaranya gamenya jelas banget.
Tama menarik bangku dan duduk disebelah Tira. “kata-katamu
selalu bagus”, buka Tama setelah melihat hasil slogan yang dibuat Tira diatas
karton. Tira tetap diam sambil memegang pensil tapi tak menorehkan apapun.
“Ma, kita duluan ya”, pamit Eka dan Rizal. Satu persatu
teman kami pun meninggalkan kami berdua.
Tira menundukkan kepalanya. Tama kembali menatap Tira dan
karton didepannya. “aku tau kamu gak bisa gambar, apalagi gambar orang. Aku
juga tau kamu capek. Makanya bilang, kan ini tugas kita, bukan tugas kamu aja”,
ucap Tama sambil meraih pensil ditangan Tira dan mulai sibuk dengan kartonnya.
Tira tertunduk, matanya mulai basah tak berani menatap Tama.
“kamu nangis?”, tanya Tama. Tira diam. “Tira!”, bentak Tama.
Tama meraih dagu mungil Tira dan mengangkat wajah Tira. Tira memejamkan mata
seakan tak mau menatap Tama. Tama menghapus airmata dipipi Tira. Tira membuka
mata, kedua mata mereka bertemu. Tama mendekatkan wajahnya kewajah Tira, kini
hidung dan nafas mereka sudah saling bertemu. Tama mengecup bibir Tira, pelan,
dan lembut. Tira kembali memejamkan mata. Tak bertahan lama, Tama melepas
kecupannya. Tira kembali menatap Tama. “tau gak, betapa kangennya aku disaat
kita bisa berdua seperti ini. Tira, aku sayang kamu, sekarang, esok, dan sampai
mata ini terpejam nanti”. Tira semakin menitikkan airmata. Keduanya terdiam,
hening, dan kembali sibuk dengan karton mereka.
weeeeee...
BalasHapusini kisah yang bguss coyyy
ini para personilnya kenal smua..
hahaha
Endingnya jegeeeerrrrr!
BalasHapus